Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom
Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Malam 28 Agustus 2025
mencatat luka baru bagi demokrasi Indonesia. Seorang pemuda berusia
21 tahun, Affan Kurniawan, pekerja keras yang sehari‑hari menjadi
pengemudi ojek online (ojol), pulang tak bernyawa.
Ia baru saja mengantarkan pesanan
dan hendak menjemput penumpang ketika demonstrasi menuntut perbaikan upah dan
menolak tunjangan mewah wakil rakyat berubah menjadi chaos.
Menurut sang ibu, Erlina, Affan
adalah tulang punggung keluarga; ia menabung untuk membeli lahan dan membangun
rumah untuk orang tuanya di Lampung. Ketika kerusuhan pecah di Pejompongan,
Jakarta Pusat, kendaraan taktis Brigade Mobil (Brimob) menerobos kerumunan dan
melindas motornya.
Video di media sosial memperlihatkan
kendaraan itu menabrak Affan, sempat melambat, lalu kembali mempercepat laju
dan meninggalkan korban. Tujuh petugas kini ditahan, tetapi nyawa tak bisa
dikembalikan dan duka keluarga belum terobati.
Tragedi ini menimbulkan pertanyaan
mendasar: mengapa aparat yang ditugasi melindungi malah menyebabkan korban jiwa?
Mengapa seorang pekerja yang tidak ikut berunjuk rasa justru menjadi korban
terburuk dari benturan aparat dan massa?
Saya melihat peristiwa ini bukan
sekadar kecelakaan, tetapi gejala dari kombinasi kelalaian prosedural, kultur
kekerasan, dan tata kelola anggaran yang menyimpang.
Dari sini, kita perlu merefleksikan
tiga hal: kesalahan penanganan, ironi anggaran Polri yang sangat besar, dan
urgensi evaluasi menyeluruh di tubuh kepolisian.
*Tragedi Affan: Cermin Kegagalan
Manajemen Kerumunan*
Demonstrasi yang terjadi pada
28 Agustus merupakan aksi kedua dalam satu pekan yang dipicu paket
tunjangan untuk anggota DPR—50 juta rupiah untuk perumahan, 12 juta
untuk makan, 7 juta untuk transportasi, jauh di atas upah minimum.
Massa pekerja dan mahasiswa menuntut
upah layak, menolak outsourcing, dan memprotes pajak daerah yang naik hingga
250 persen.
Di tengah tuntutan itu, aparat
berseragam lengkap, membawa kendaraan taktis, menyemprotkan meriam air dan
menembakkan gas air mata.
Video memperlihatkan mobil Brimob
menerobos kerumunan, padahal warga sudah memberi peringatan. Bukannya berhenti,
kendaraan itu melaju dan melindas Affan.
Kesalahan penanganan tidak berhenti
pada satu kendaraan. Laporan Reuters menyebut ratusan mahasiswa dan pengemudi ojol
berunjuk rasa di depan markas Brimob sampai dini hari. Polisi melepaskan gas
air mata dan meriam air, sementara 600 orang dilaporkan ditangkap.
Presiden Prabowo Subianto mengaku
“terkejut dan kecewa” atas tindakan aparat, memerintahkan investigasi dan
meminta penegakan hukum terhadap pelaku. Kepala Polda Metro Jaya Asep Edi
Suheri bahkan meminta maaf secara terbuka dan membenarkan bahwa Affan bukan
bagian dari aksi.
Namun permintaan maaf tak menghapus
kesan penanganan brutal. Banyak analis dan publik di sosial media menyebut
tindakan tersebut bukan kecelakaan melainkan “tindakan brutal” yang melanggar
prosedur.
Di sini tampak kelemahan pendekatan
aparat. Polisi berperan sebagai penjaga ketertiban dan pelindung warga, bukan
pasukan tempur.
Namun dalam banyak aksi, pendekatan
yang diambil cenderung militeristik: penggunaan kendaraan lapis baja, senjata
huru‑hara, dan taktik tekanan.
Analoginya seperti dokter yang
menangani demam dengan amputasi—masalah ketertiban diselesaikan dengan
kekerasan berlebihan.
Tidak heran apabila Amnesty
International menyoroti tindakan yang tidak proporsional seperti gas air mata,
pemukulan, dan penangkapan sewenang‑wenang sebagai pelanggaran hak berkumpul.
Memperbaiki Melalui Anggaran. Polri:
Rumah Mewah Tanpa Pondasi
Ironi terbesar dari tragedi ini
adalah kontras antara besarnya anggaran Polri dengan kualitas pelayanan publik
dan pengamanan aksi.
Menurut data Kementerian Keuangan,
alokasi anggaran Polri meningkat dari Rp102,2 triliun pada 2021 menjadi
Rp145,6 triliun untuk 2026.
Anggaran tahun 2026 diarahkan ke
program profesionalisme SDM (Rp1,2 triliun), penyelidikan
(Rp3,6 triliun), modernisasi alat utama dan sarana prasarana
(Rp52,7 triliun) serta dukungan manajemen yang mencapai
Rp73 triliun.
Realisasi belanja 2025 hingga Juni
baru 48,67 persen dengan penyerapan Rp69,1 triliun.
Selain itu, Polri meminta tambahan
anggaran Rp63,7 triliun untuk tahun anggaran 2026. Publik mempertanyakan
justifikasi tambahan itu karena porsi terbesar adalah belanja barang dan
modal—area yang rentan korupsi. Publik juga mencatat bahwa 46 persen
sentimen publik terhadap tugas pemeliharaan ketertiban negatif.
Permintaan naiknya anggaran
37 persen—dari Rp126,6 triliun menjadi Rp173,4 triliun tidak
sejalan dengan semangat efisiensi pemerintah. Dana besar seharusnya dialihkan
ke pendidikan atau bantuan sosial.
Sayangnya, transparansi penggunaan
anggaran Polri minim. Program “dukungan manajemen” bernilai Rp73 triliun
tidak dijelaskan rinci. Pada saat yang sama, Polri memamerkan robot polisi
seharga hampir Rp3 miliar per unit dalam upacara HUT Bhayangkara Juli 2025
lalu.
Analogi rumah mewah dengan atap
bocor sangat relevan: institusi ini berinvestasi pada teknologi canggih dan
kendaraan lapis baja, tetapi gagal menyediakan prosedur pengamanan yang
sederhana—seperti memastikan kendaraan taktis tidak melindas warga.
Anggaran besar yang tak terarah
hanya memperbesar potensi penyimpangan dan memperparah ketidakpercayaan publik.
*Kesalahan Fatal dalam Menghadapi
Demonstrasi: Pelajaran dari Affan*
Apa saja kesalahan aparat dalam
demonstrasi yang merenggut nyawa Affan?
Pertama, kegagalan identifikasi
risiko.
Demonstrasi di depan parlemen sudah
berlangsung sejak pagi, dan massa terdiri dari buruh, mahasiswa, serta warga
sekitar. Kehadiran ojol seperti Affan seharusnya diduga karena jalan raya
adalah tempat mereka mencari nafkah.
Namun aparat tidak membuat jalur
evakuasi atau “safe zone” bagi warga non‑demonstran.
Kedua, penggunaan kendaraan berat di
area padat.
Mobil taktis Brimob berfungsi untuk
situasi terorisme atau kerusuhan ekstrem, bukan untuk membelah kerumunan
sipil.
Video menunjukkan pengemudi mobil
tidak mengurangi kecepatan meski ada peringatan. Ini melanggar prinsip dasar
pengendalian massa yang mengutamakan keselamatan.
Ketiga, ketidakpatuhan terhadap
eskalasi bertahap.
Dalam manual pengamanan aksi damai,
penggunaan gas air mata dan meriam air adalah tindakan setelah negosiasi dan
peringatan.
Namun laporan saksi di lapangan
melaporkan aparat langsung menembakkan gas air mata dan meriam air saat bentrok
berlangsung.
Ketika kekerasan menjadi respon
pertama, aksi damai berubah menjadi kerusuhan, dan orang yang tidak terlibat
menjadi korban.
Keempat, ketiadaan komunikasi dan
koordinasi. Aparat dan koordinator aksi seharusnya membangun kanal
komunikasi.
Tanpa itu, misinformasi mudah
menyebar dan aparat hanya mengandalkan instruksi satu arah. Ketika demonstran
meneriakkan “keadilan untuk Affan” dan “nyawa dibalas nyawa”, situasi sudah
kehilangan kendali.
Keterlambatan polisi dalam memberi
informasi dan permintaan maaf memperbesar kecurigaan dan kemarahan publik.
*Mengapa Evaluasi Besar Diperlukan?*
Kematian Affan memicu kemarahan
nasional bukan semata karena tragedi itu sendiri, tetapi karena ia menjadi
simbol kegagalan berulang.
Dalam beberapa tahun terakhir,
terdapat serangkaian kasus kekerasan aparat saat menghalau demonstrasi, dari
bentrokan mahasiswa hingga tragedi Kanjuruhan (pengetahuan umum). Bila hal ini
dibiarkan, legitimasi Polri sebagai penegak hukum akan terkikis.
Evaluasi besar di tubuh Polri
diperlukan karena tiga alasan:
Pemulihan kepercayaan publik. Data
ICW menunjukkan hampir setengah masyarakat memiliki sentimen negatif terhadap
kinerja pemeliharaan ketertiban.
Tanpa kepercayaan, legitimasi
kekuasaan bersenjata rapuh. Evaluasi menyeluruh harus mengaudit tidak hanya
pelanggaran individu, tetapi juga kultur organisasi, pola perekrutan, dan
mekanisme penegakan disiplin.
Efektivitas penggunaan anggaran.
Dengan alokasi anggaran ratusan triliun rupiah dan permintaan tambahan puluhan
triliun, Polri wajib memastikan setiap rupiah berkontribusi pada keamanan
publik.
Evaluasi harus menelaah apakah
belanja modal seperti kendaraan lapis baja dan robot benar‑benar dibutuhkan,
atau justru memperbesar jarak antara polisi dan masyarakat.
Penataan ulang paradigma keamanan.
Polri masih menganut paradigma keamanan internal yang memprioritaskan
ketertiban di atas hak warga.
Padahal UU No 9/1998
menjamin hak menyampaikan pendapat di muka umum. Amnesty International
menekankan bahwa penggunaan kekuatan harus perlu, proporsional dan
akuntabel.
Evaluasi harus merumuskan ulang
standar operasional, menjadikan de‑eskalasi dan perlindungan hak asasi sebagai
prioritas.
*Rekomendasi untuk Membangun Polisi
Pro‑Publik*
Bagaimana langkah konkret untuk
memperbaiki situasi? Beberapa rekomendasi berikut dapat menjadi agenda evaluasi
besar:
Audit dan transparansi anggaran.
Publikasikan secara rinci pos anggaran Polri, terutama program “dukungan
manajemen” bernilai puluhan triliun. Namun proses ini sulit dilakukan. Harus
juga libatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan partisipasi publik dalam
proses evaluasi.
Korupsi hanya berkembang dalam
kegelapan; transparansi adalah cahaya.
Perombakan pelatihan pengamanan
massa. Modul pelatihan harus memprioritaskan teknik negosiasi, komunikasi
massa, dan de‑eskalasi.
Penggunaan kendaraan taktis harus
dibatasi dan dipersyaratkan hanya untuk situasi luar biasa. Kesalahan
prosedural dalam kasus Affan menjadi bukti bahwa pelatihan belum sejalan dengan
prinsip HAM.
Penguatan pengawasan internal dan
eksternal. Propam (profesi dan pengamanan) harus diberi kewenangan dan
kemandirian lebih untuk menindak pelanggaran.
Di sisi eksternal, komisi kepolisian
nasional dan lembaga hak asasi harus dilibatkan dalam investigasi. Penanganan
kasus Affan harus menjadi contoh keterbukaan: proses hukum yang transparan
terhadap tujuh oknum, bukan sekadar sanksi etik.
Pendekatan berbasis komunitas. Polri
perlu mereorientasi tugas dari “penjaga” menjadi “pelayan”. Program
Bhabinkamtibmas yang mendekatkan polisi ke desa perlu diperkuat, bukan sekadar
retorika. Polisi yang mengenal masyarakatnya cenderung mengedepankan dialog
ketimbang represi.
Pengalihan fokus belanja dari alat
berat ke SDM. Daripada membeli robot mahal atau kendaraan taktis, alokasi
sebaiknya diarahkan pada kesejahteraan anggota, pelatihan, kesehatan mental,
dan teknologi informasi yang meningkatkan pelayanan.
Data menunjukkan porsi belanja
personel hanya Rp35,9 triliun dari realisasi 2025, sementara belanja modal
Rp20 triliun. Keseimbangan perlu diperbaiki agar investasi terbesar berada
pada manusia, bukan mesin.
Keterlibatan masyarakat sipil dalam
penyusunan SOP. Aktivis, akademisi, dan komunitas korban harus dilibatkan dalam
merumuskan pedoman pengamanan aksi.
Keterlibatan ini mencegah
terulangnya tragedi dan meningkatkan rasa memiliki terhadap Polri.
Dukungan bagi korban dan keluarga.
Negara berkewajiban memberi kompensasi, perlindungan, dan akses keadilan bagi
keluarga Affan dan korban lain.
Presiden Prabowo telah menyatakan
rasa duka dan memerintahkan penyelidikan; langkah ini harus diikuti tindak
lanjut berupa ganti rugi dan jaminan pendidikan bagi adik‑adik Affan.
Mengubah Derita Menjadi Agenda
Reformasi
Kematian Affan Kurniawan mengguncang
nurani bangsa karena ia merangkum ketidakadilan struktural: warga kecil menjadi
korban perseteruan elit dan aparat, anggaran triliunan rupiah tidak menjamin
keselamatan, dan budaya kekerasan mengalahkan nilai kemanusiaan.
Tragedi ini layaknya cermin yang
memantulkan wajah buram institusi keamanan kita. Apa gunanya kendaraan lapis
baja, robot canggih, dan anggaran raksasa jika seorang pemuda pencari nafkah
tidak bisa pulang dengan selamat?
Evaluasi besar di tubuh Polri bukan
sekadar kebutuhan, melainkan keharusan moral. Tanpa perubahan
mendasar—transparansi anggaran, reformasi pelatihan, pengawasan kuat, dan
reorientasi paradigma—tragedi serupa akan terulang. Affan bukan nama terakhir
bila sistem dibiarkan.
Menurut saya, evaluasi di tubuh
Polri tidak efektif dilakukan manakala tidak dilakukan perubahan kepemimpinan.
Transformasi leadership adalah syarat mutlak evaluasi dan perubahan dapat
dilakukan dengan baik. Ini menjadi PR Pak Prabowo.
Sebaliknya, jika kita mampu belajar
dari derita ini, memperbaiki cara berfikir dan bertindak, kita bisa membangun
kepolisian yang benar‑benar melayani dan melindungi. Marilah menjadikan darah
Affan sebagai cahaya perubahan, bukan sekadar kisah sedih yang hilang ditelan
waktu.
Copyright © onPres. All Rights Reserved